Ketika Millenial Mengabaikan Kearifan


Ketika Millenial Mengabaikan Kearifan

Ketika Millenial Mengabaikan Kearifan
Ketika Millenial Mengabaikan Kearifan

Indonesia adalah negara yang kaya baik alam, etnis, suku, budaya, adat, agama, bahasa, keindahan panorama dan jutaan kekayaan lainnya. Bahkan kini bertambah lagi yaitu  kekayaan pengamat (ekonomi, sosial, politik, gender, dan lain-lain).

Banyaknya pengamat memunginkan terjadinya perbedaan pendapat. Perbedaan adalah hal yang lumrah jika dalam penyampaiannya dilakukan secara baik dan sopan. Kritik baik jika itu diberikan sesuai dengan peraturan yang ada.

Era modern atau tepatnya era milineal saat ini. Kritik tak hanya terbatas pada radio, surat kabar dan reklame-reklame. Lebih canggih lagi, hanya dengan satu klik ribuan/bahkan jutaan hingga milyaran orang dapat melihatnya dengan durasi sepersekian detik.

Trend penggunaan benda elektronik sampai detik ini mencuat tajam. Khususnya benda berukuran 3 – 5 inchi dengan ketebalan 2 – 4 cm, dimana dulunya adalah kebutuhan tersier kini berubah menjadi kebutuhan primer. Ya.... itulah yang terjadi sekarang.

Munculnya barang berukuran 3 – 5 inchi itu direspon cepat oleh berbagai perusahaan dunia untuk saling berlomba-lomba membuat jaringan sosial yang mencakup dunia. Katanlah Youtube, Twitter, Instagram, yang saat ini menjadi panggung ibadah sehari-hari kaum millenial.

Berdasarkan kutipan dari tekno.kompas.co.id tanggal 01 maret 2016 sebanyak 120 juta penduduk Indonesia menggunakan mobile. Dengan penggunaan jaringan sosial atau sosmed youtube 43% (menepati urutan pertama), dilanjut facebook, whatsapp, dan  instagram.

Dengan banyaknya pengguna sosmed, satu kiriman saja bisa langsung terlihat oleh jutaan orang. Hal itu tentu akan menimbulkan sikap positif dan negatif. Positif karena kritik dan tanggapan dengan baik dan negatif karena banyaknya hujatan dan cacian.

Sayangnya diera yang katanya millenial banyak orang pandai menghujat dan memaki. Mudah terprofokasi orang lain. Okelah, kalau benci atau menghujat orang dengan sendiri tidak apa-apa. Susahnya jika mengajak orang lain untuk ikut serta membenci, menghujat dan memaki.

Makian, hujatan dan cacian dilancarkan kepada kekurangan anggota tubuh, kinerja, bahkan urusan pribadi pun dibawa-bawa (dikutip dari buku K.H Cholil Bisri, 2008, Menuju Ketenangan Batin).

Perbedaan pendapat itu karunia Tuhan. Berbeda dengan hujatan, cacian dan celaan. K. H Cholil Bisri mengatakan,”cacian dan makian adalah bisikan setan, dimana saja dan kapan saja menyakitkan. Dia muncul karena adanya desakan emosi dan ketidakterimaan lantaran diabaikan”.

Kita sebagai kaum millenial yang melek pendidikan dan teknologi harus mampu mencari data kebenaran tentang suatu hal. Jangan mudah untuk diprovokasi, dengan sedikit data yang membenarkan itu. Perlu pencarian secara mendalam sebelum membuat keputusan pribadi. Untuk konsumsi pribadi tidak apa, namun jangan sampai analisis kita sebar bebas kepada orang lain yang belum tentu pasti kebenarannya.

0 Response to "Ketika Millenial Mengabaikan Kearifan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

loading...